Sabtu, 21 Maret 2015

Pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran

           Inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinuitas) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai  akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Jadi, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.


Pengangguran  adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.

Tabel 2.2.1 Data pengangguran di Indonesia periode 1995 – 2010
  
No
Tahun
Tingkat Pengangguran
1
1995
7.2 %
2
1996
4.9 %
3
1997
4.7 %
4
1998
5.5 %
5
1999
6.4 %
6
2000
6.1 %
7
2001
8.0 %
8
2002
9.1 %
9
2003
9.6 %
10
2004
9.9 %
11
2005
10.3 %
12
2006
10.3 %
13
2007
9.1 %
14
2008
8.39 %
15
2009
8.14 %
16
2010
7.14 %

Sumber : Badnan Pusat Statistik, Indonesia

Kurva Philips

Pada saat terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Didasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran secara berkelanjutan. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva Phillip.

Gambar 2.3.1 Kurva Phllips




Kurva Phillips adalah kurva yang menunjukkan adanya korelasi antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Menrut A.W Phillips, korelasi antara tingkat inflasi dan pengangguran adalah negative. Suatu negara dihadapkan pada suatu pilihan ( Trade Off atau imbang korban atau harga yang harus dibayar ) yaitu bila negara tersebut menghendaki inflasi yang rendah maka konsekuensinya yang didapat yakni tingkat pengangguran yang semakin meningkat, dan bila negara tersebut menghendaki pengangguran yang rendah sebagai konsekuensinya inflasi yang dihadapi haruslah tinggi. Dan menurut Phillips, tidak bisa suatu negara mengehendaki keadaan dimana inflasi rendah dan tingkat pengangguran yang juga rendah.

A.W Philips mampu mengintepretasikan kurva Phillips sebagai representasi dari keterkaitan antara inflasi dan pengangguran dalam penelitiannya di sebuah negara. Perilaku yang ditampakkan dari dua komponen ini di asumsikan oleh Phillips bahwa suatu inflasi ada ataupun meningkat karena adanya peningkatan  Agregat Demand . Namun, hal yang tercermin dalam kurva Phillips ini tidak cukup mampu menggambarkan perilaku maupun pola dari keterikatan antara inflasi dan pengangguran di negara – negara berkembang pada umumnya dan di indonesia pada khususnya. Hal ini nampak pada pola yang tidak dapat terbaca.

Gambar 2.4.1 Hubungan anatarinflasi dan pengangguran di Indonesia.






Pengaruh Inflasi terhadap Pengangguran di Indonesia periode 1995-2010

A.W. Phillips menggambarkan bagaimana sebaran hubungan antara inflasi dengan tingkat pengangguran didasarkan pada asumsi bahwa inflasi merupakan cerminan dari adanya kenaikan permintaan agregat. Dengan naiknya permintaan agre-gat, maka sesuai dengan teori permintaan, jika permintaan naik maka harga akan naik. Dengan tingginya harga (inflasi) maka untuk memenuhi permintaan tersebut produsen meningkatkan kapasitas produksinya dengan menambah tenaga kerja (tenaga kerja merupakan satu-satunya input yang dapat meningkatkan output). Akibat dari peningkatan permintaan tenaga kerja maka dengan naiknya harga-harga (inflasi) maka, pengangguran berkurang.

Menggunakan pendekatan A.W.Phillips dengan menghubungkan antara pengangguran dengan tingkat inflasi untuk kasus Indonesia kurang tepat. Hal ini didasarkan pada hasil analisis tingkat pengangguran dan inflasi di Indonesia dari tahun 1995 hingga 2010, ternyata secara statistik maupun grafis tidak ada pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan tingkat pengangguran (lihat hasil analisis statistik di bawah ini).

Berbeda dengan di Indonesia, adanya kenaikan harga-harga atau inflasi pada umumnya disebabkan karena adanya kenaikan biaya produksi misalnya naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan karena kenaikan permintaan. Dengan alasan inilah, maka tidaklah tepat bila perubahan tingkat pengangguran di Indonesia dihubungkan dengan inflasi. Karena itu, perubahan tingkat pengangguran lebih tepat bila dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sebab, pertumbuhan ekonomi merupakan akibat dari adanya pe-ningkatan kapasitas produksi yang merupakan turunan dari peningkatan investasi.


Kesimpulan

Menurut pembahasan dalam karya ilmiah diatas, setelah penulis membandingkan mengenai pola hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia dengan teori Phillips yang dikemukakan oleh A.W Phillips , hasilnya tidak dapat dikaitkan ataupun dihubungkan dengan teori tersebut. Artinya, teori Phillips tidak berlaku di negara-negara berkembang terutama untuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena Phillips menggunakan asumsi untuk teorinya bahwa inflasi sangat dipengaruhi oleh agregat demand atau permintaan agregat, padahal di negara – negara berkembang, utamanya Indonesia inflasi lebih dipengaruhi oleh niaya produksi. Jika menurut Phillips saat teradi inflasi, perusahaan akan berupaya meningkatkan outputnya demi memenuhi kebutuhan pasar, asumsi agregat demand, sehingga perusahaan akan berupaya meningkatkan sumber daya atau tenaga kerja demi memenuhi kebutuhan masyarakat, akibatnya pengangguran kian menurun, karena dianggap dalam jangka pendek nilai nominal yang dibayarkan perusahaaan kepada tenaga kerja meskipun tetap  namun nilai riil upah yang dibayarfkan tersebut menurun.

Akan tetapi berbeda dengan Indonesia, seperti yang disebutkan di atas, inflasi terjadi karena menigkatnya biaya produksi, sehingga secara tidak langsung harga bahan untuk memenuhi output atau permintaan pasar juga meningkat, sehingga perusahaan akan berupaya menekan biaya produksi guna efisiensi perusahaan, akibatnya demi menjaga efisiensi tersebut salah satu langkah yang bisa ditempuh oleh perusahaan adalah mengurangi tenaga kerja dan mengganti dengan mesin, sehingga biaya yang dianggarkapun juga berkurang, dalam artian perusahaan harus mengurangi tenaga keranya dengan cara mem PHK. Namun hal ini tidak dapat diartikan, bahwa di Indonesia hubungan antara inflasi dan pengangguran adalah positip, sebab dalam kenyataannya di Indonesia tidak ada hubungan yang pasti antara inflasi dan pengangguran.



Sumber:

http//amriamir.files.wordpress.com/200809inflasi-dan-pengangguran-di-indonesia-1.pdf/, http://article.wn.com/view/2012/05/07/BPS_Jumlah_Pengangguran_Turun_90000_Orang/, http://putrijulaiha.wordpress.com/2011/03/22/hubungan-pengangguran-dan-inflasi-di-indonesia/, Lipsey, Richard. 1995. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta : Cipta Pustaka.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar