Sabtu, 05 Maret 2016

Kebijakan Plastik Berbayar

 Pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRI) sepakat memberlakukan penggunaan kantong plastik berbayar seharga Rp200 per lembar untuk mengurangi limbah plastik mulai 21 Februari 2016 bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional.

"Nilai yang disepakati yakni minimal Rp200 per kantong plastik, itu sudah termasuk PPN. Masih di bawah rata-rata biaya poduksi kantong plastik. Jadi, masih ada biaya yang ditanggung oleh kami. Nanti akan dievaluasi kembali setelah uji coba berjalan minimal tiga bulan," kata Roy N. Mandey Ketua Umum Aprindo saat dihubungi di Jakarta, Minggu.

Roy menjelaskan, kesepakatan tersebut diperoleh usai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar pertemuan dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Asosisasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Selasa (16/2). "Hasilnya telah disosialisasikan melalui surat edaran KLHK kepada Kepala Daerah melalui surat nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016, tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar," kata Roy. Menurut Roy, dalam surat tersebut telah dijelaskan bahwa baik BPKN, YLKI, maupun Aprindo mendukung kebijakan kantong plastik berbayar yang dicanangkan pemerintah.

"Kami siap menyukseskan sosialisasi dan uji coba penerapan kantong plastik berbayar di seluruh Indonesia secara bertahap. Beberapa kota telah melakukan seremonial pencanangan kantong plastik berbayar bersama Aprindo, kami akan tetap laksanakan sesuai kesepakatan dengan pemerintah pusat," ujarnya. Selama masa uji coba, Pemerintah, BPKN, YLKI, dan Aprindo sepakat bahwa pengusaha ritel modern tidak lagi menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma untuk konsumen.

"Kami terus mengimbau konsumen untuk membawa tas belanja sendiri. Namun, bila konsumen masih tetap membutuhkan kantong plastik maka akan diminta membayar di kasir. Mekanismenya sama seperti membeli produk lainnya, kasir akan scan barcode kantong plastik dan bukti pembayarannya akan tertera pada struk belanja," tambahnya. Ramah lingkungan Roy juga menyebut, selain nominalnya, spesifikasi kantong plastik yang digunakan ritel modern juga telah ditentukan. "Kantong plastik yang boleh digunakan hanya yang ramah lingkungan, yakni menimbulkan dampak lingkungan paling minimal serta memenuhi standar nasional yang ditetapkan pemerintah," katanya.

Ditegaskannya juga, ternyata hal itu tak jadi soal karena beberapa anggota Aprindo memang sudah menggunakan plastik jenis "oxo biodegradable" yang lebih mudah terurai. Jika kebijakan ini berhasil diterapkan, peritel modern siap mengalokasikan dana yang diperoleh untuk tanggung jawab sosial perusahaan di bidang perbaikan dan pengelolaan lingkungan.

Namun kebijakan ini masih belum diatur dalam Peraturan Menteri. Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menyatakan, perlunya tindakan cepat untuk menyelesaikan kebijakan kantong plastik berbayar tersebut. Pasalnya, secara hukum surat edaran memiliki posisi yang lemah, sehingga membuat ketidakjelasan penerapan kebijakan di setiap daerah.

"Kalo pake surat edaran posisinya lemah, Pemda menerapkan harga masing-masing. Masih harus segera dibereskan, kalo ga daerah suka-suka nentukan harganya ada Rp200, Rp3.000, Rp5.000," ujarnya kepada Okezone di Jakarta, Minggu (28/2/2016). Oleh Sebab itu, menurutnya penting untuk segera disahkan peraturan menteri yang mengatur kebijakan kantong plastik berbayar.

"Surat edaran itu kayak model tidak wajib. Perlu Peraturan Menteri yang mengatur supaya ada dasar hukumnya," katanya. Lanjutnya, bila tidak segera di atur dalam peraturan menteri maka baik dalam penentuan harga plastik dan alokasi dana akan tidak diketahui. "Jadi liar, perlu ada landasan," tutupnya.

Tetapi nampaknya plastik berbayar belum dirasa tepat untuk menekan jumlah limbah plastik menurut Prof. Ir. Agoes Soegianto, DEA, selaku dosen di Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga (FST UNAIR). Menurut beliau cara paling efektif menekan jumlah limbah plastik adalah dengan memperbaiki proses pengolahannya.

“Seperti kita tahu, pemisahan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) masih belum dilakukan. Ini murni tanggungjawab pemerintah yang harus mengurusnya. Tidak dengan cara membebankan pada masyarakat untuk menekan peredaran plastik,” jelas Prof. Agoes ketika ditemui ruangannya, Senin (22/2).

Prof. Agoes menyesalkan bahwa penumpukan sampah di TPA masih bercampur aduk. Padahal, di beberapa ruang publik tempat sampah telah dibuat terpisah. Sebab, pemisahan sampah menjadi percuma dan limbah plastik akan sulit dipisahkan ataupun didaur ulang.

“Di beberapa negara maju, selain pemerintah mengimbau masyarakat untuk memisahkan sampah, mereka juga memiliki teknik pemisahan sampah di TPA. Sampah di TPA itu kemudian diolah hingga menghasilkan energi. Teknik pemisahan dan pengolahan itulah yang belum diaplikasikan di sini,” tambah Prof. Agoes.

Selain itu, menurut Guru Besar bidang Ekotoksikologi FST UNAIR, kebijakan plastik berbayar tak akan bisa menyelesaikan masalah sampah plastik. Hal ini justru akan membuka peluang penyelewengan dana karena tidak adanya kejelasan aliran uang pengganti plastik.

Permasalahan sampah merupakan tanggungjawab pemerintah yang membutuhkan komitmen dan dukungan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya imbauan untuk membuang sampah secara terpisah dan menjaga kebersihan lingkungan bagi masyarakat. Pemerintah juga harus memiliki komitmen dan tindakan untuk mengolah sampah.

“Penelitian mengenai pengelohan sampah telah banyak, dan sudah lama dilakukan. Sebetulnya, Indonesia sudah siap. Pemerintah saja yang belum berkomitmen ke arah sana,” tegas Prof. Agoes.


Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar