Sabtu, 05 Maret 2016

Sejarah Kalijodo

Asal Muasal Nama Kalijodo

Nama Kalijodo yang terletak di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara “Dulu disebut peh cun di Kali Angke, belum Kalijodo. Begitu terkenal, maka dinamailah Kalijodo, karena orang dapat jodoh di situ,” ungkap Budayawan Betawi Ridwan Saidi seperti dikutip Kompas.com. Dalam tradisi China, Peh Cun adalah tradisi yang diselenggarakan setiap hari 100 penanggalan imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan Peh Cun adalah pesta air. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi Kali Angke.


Ridwan Saidi mengenang, masa itu setiap perahu akan berisi tiga sampai empat orang laki-laki atau perempuan. Di perahu tersebut, si laki-laki akan melihat ke perahu yang berisi perempuan. Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama tiong cu pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau. Bagi perempuan yang ditaksir jika ia senang ia akan melemparkan kue sejenis ke arah laki-laki yang menyukainya. Dari sinilah kemudian kawasan ini berubah menjadi Kalijodo karena menjadi kawasan untuk mencari jodoh.

Berbeda dengan saat ini, di masa itu Kali Angke masih jernih. Itulah mengapa walau tradisi ini dilakukan oleh etnis Tionghoa, tetapi masyarakat umum tetap memadati Kali Angke untuk melihat perayaan tersebut. Tradisi Peh Cun dan Imlek sendiri tidak lagi dirayakan setelah tahun 1958 setelah pemerintah mengeluarkan aturan tentang hal tersebut. Aturan tersebut dibuat oleh Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat diera 1953-1960.  Walikota masa itu, jabatannya setara dengan gubernur di masa kini.


Melirik ke beberapa abad silam sekitar tahun 1600-an, Jakarta masih terkenal dengan nama Batavia. Pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mayoritas penduduk yang ada di sana adalah etnis Tionghoa.

Masyarakat berlatar belakang etnis Tionghoa ini adalah orang-orang yang melarikan diri dari Manchuria. Wilayah yang dulunya terletak di dekat perbatasan Korea Utara dan Rusia ini sedang mengalami perang. Saat melarikan diri ke Batavia, mereka tidak membawa istri, sehingga mereka pun akhirnya mencari gundik atau pengganti istri di Batavia.


Dalam proses pencarian gundik, mereka kerap kali bertemu di kawasan bantaran sungai. Lalu tempat yang dijadikan dianggap menjadi pertemuan pencarian jodoh dinamakan Kalijodo. Dalam bahasa Jawa artinya “Sungai Bertemunya Jodoh”.


Berbeda dengan Ridwan Saidi yang menceritakan asal muasal nama nama Kalijodo berdasarkan pesta air pada tradisi Peh Cun, Remy Silado dalam novelnya menceritakan jika ca-bau-kan lah yang kemudian melahirkan istilah ini. Ca-Bau-Kan sendiri artinya perempuan. Tetapi mengalami penyempitan makna menjadi perempuan pribumi yang diperbini Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu memperdulikan hukum Hindia Belanda. Dan kemudian menjadi Ca-bo untuk menyebut istilah pelacur. Cau Bau ini bisa disamakan dengan Geisha dalam kebudayaan Jepang. Mereka bukan bertujuan untuk melacur, tapi perempuan tersebut menghibur dan mendapatkan uang atas pekerjaannya.

Para Cau Bau ini mayoritas didominasi oleh perempuan lokal. Para gadis pribumi akan menarik pria etnis Tionghoa dengan menyanyi lagu-lagu klasik Tionghoa di atas perahu yang tertambat di pinggir kali. Pada masa tersebut, perempuan yang akan menjadi gundik disebut Cau Bau. Cau Bau dianggap memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan pelacur. Kendati demikian, di lokasi tersebut masih berlangsung aktivitas seksual dengan transaksi uang.

“Kali jodo selama berabad telah menjadi tempat paling hiruk pikuk di Jakarta. Di sini, sejak dulu terlestari kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup bersama selamanya, tetap sekadar berhibur diri sambil menikmati nyanyian klasik Tionghoa, dinyanyikan para ca-bau-kan,” tulis Remy Silado.

“Para tauke-tauke yang mengelola ca-bau-kan akan memberi mereka kostum model opera berbahan sutera dengan warna-warni menyolok disertai bordir-bordir yang bermutu. Mereka berada di perahu-perahu yang dipasang lampion Tiongkok, bergerak pelan-pelan di kali itu,” demikian setting novel Ca-Bau-Kan. Di perahu itu para Ca-bau-kan menawarkan jasanya dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair asmara dalam bahasa Cia-im. Walaupun ca-bau-kan ada yang perempuan tionghoa totok, tetapi kebanyakan asli pribumi yang mahir menyanyikan lagu Tionghoa walaupun tidak mengerti arti nyanyiannya.

Walaupun demikian, pengunjung kalijodo bukan hanya dari etnis Tionghoa tetapi juga berbagai suku yang mencari hiburan di situ. Walaupun pada awalnya, kegiatan prostitusi tersebut dilakukan diatas perahu yang berlayar dari kwitang ke Kalijodo, lambat-laun berubah menjadi rumah-rumah bordir.

Kalijodo pada abad Milenium


Seiring berjalannya waktu pada abad 20, Kalijodo kini telah berkembang menjadi tempat hiburan yang tidak hanya diincar para pria asal etnis Tionghoa. Bahkan masyarakat pribumi dan etnis lain juga ikut menikmati. Alhasil, hal ini pun membentuk Kalijodo sebagai sebuah tempat yang terkenal dengan daerah pelacuran. Bahkan setelah pemerintah menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak pada tahun 1999, Kalijodo kian ramai dikunjungi.

Faktanya, orang Jakarta sejak zaman dulu selalu menamakan suatu tempat berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi. Contohnya adalah Kalijodo yang dulunya sering digunakan para gadis dan pria berpacaran. Dan berakhir dengan perjodohan.


Selain itu, tiap tahun di tempat ini juga sering diselenggarakan pesta Peh Coen Imlek. Pesta ini sering didatangi oleh muda-muda yang ingin menyaksikan beragam keramaian, seperti barongsai, pesta ngibing diiringi gambang keromong dan lain-lain.


Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar